Sinar matahari cukup terik. Waktu menunjukan pukul 12.30 WIB. Panas. Lelah. Letih. Lesu. Lunglai. Tak berdaya. Bagaikan mitokondria, organel penghasil energi dalam tubuh ini tak berfungsi sebagai mana mestinya. Rasanya ingin sekali membalikan badan ke belakang lalu bermetaforgana akan adanya air terjun yang deras dan di bawahnya terdapat sumber mata air dimana airnya bisa langsung diminum. Alangkah segarnya. Namun, sekali metaforgana ya tetap saja metaforgana. Hanya sebuah angan yang sulit dicapai karena pada saat itu, saya dituntut untuk “parade”. Sikap sempurna dimana kita tidak boleh melakukan gerakan apapun dan tidak boleh bersuara sedikitpun. Itu perintah, dan saya harus melakukannya. Wajah saya mulai terbakar panasnya matahari. Keringat yang keluar dari pori-pori keluar sedikit demi sedikit membentuk meniskus cembung yang pada akhirnya jatuh di atas bibir. Gatal rasanya ingin saya lumat saja. Jorok memang. Apa daya, sekali lagi saya sedang dalam lingkup “parade”. Huh, gerutu dalam hati terus menggebu. Kapankah akan selesai penderitaan ini? Rasanya lima menit saja seperti satu hari, dan satu jam bagaikan satu tahun. Sungguh nista. Sempat terlintas dalam benak saya, lebih baik mencopet lalu mendapat uang secara kilat, daripada harus parade di bawah terik matahari dengan kondisi yang sangat tidak memungkinkan, lemah. Ya, menjadi pencopet. Pencopet mengerti parade? Tidak. mereka pasti tidak mengerti dan saya telah mebuat kesimpulan bahwa parade itu tidak penting.
Paling tidak, jika besar nanti saya bercita-cita ingin menjadi seorang direktur perusahaan atau bagian dari parlementer Negara, pekerjaan yang tak perlu perjuangan secara fisik namun, sekejap saja saya bisa mendapatkan uang banyak. Mengambil uang rakyat, hal yang mudah. Apakah diperlukan dasar fisik parade? Tidak. Apalagi melawan panasnya matahari seperti yang sedang saya rasakan sekarang, parade. Untuk itu, saya ingin menjadi pencopet berpendidikan, koruptor. Tak harus merasakan parade lagi, yang saya rasakan adalah nanti kibasan uang yang membentuk kipas dan menghasilkan angin. Sungguh nikmat. Lagi lagi, saya buat kesimpulan bahwa parade tidak penting. Konyol memang. Pikiran saya terlalu dini untuk memikirkan semuanya. Setelah saya sadar, saya pikir lagi bahwa kedua hal diatas terlalu nista untuk dilakukan. Segala macam cara dilakukan hanya untuk melawan sebuah hal kecil, yaitu parade. Parah. Cara haram dilakukan. Lagipula, parade sangatlah mulia. Menurut saya, parade itu ditujukan kepada kita semua agar kita bisa menahan segala rintangan yang ada dalam hidup kita kelak nanti. Agar kita tetap pada pendirian, tak mudah goyah dan tak kan pernah pantang menyerah. Beban hidup pasti akan selalu datang. Bagaikan sedang panjat pinang, parade merupakan sikap awalan kita dalam menempuh hidup. Rintangan disini diibaratkan sebuah oli yang biasa dilumurkan pada bambu. Kalau kita tidak pantang menyerah, kita pasti bisa menuju puncak kejayaan hidup. Percayalah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar